Sepertinya nothing ya gaes, kecuali film pendek itu bergenre dokumenter dengan cerita membumi yang mengoyak rasa kemanusiaan. Selain itu pasti hanya film pendek "biasa" yang diputar kemudian terlupakan.
Tapi, judgement saya terbantahkan begitu menyaksikan pemutaran film pendek berjudul End of Black Era - The Incident yang diputar pada hari Jumat (16 Juni 2017) pekan lalu. Bertempat di Jogja Village Inn, saya bersama beberapa teman blogger serta rekan dari beberapa komunitas lain menyaksikan amazingnya imajinasi seorang Yuris Aryanna yang dia tuangkan dalam sebuah film kolaborasi bersama Yongki Ongestu seorang moviemaker.
Apa Sich Screening Film itu?
Pasti kalian penasaran kayak apa sih film End of Black Era yang pastinya bukan sekedar film pendek tanpa value. Oke, sebelum lanjut saya mau sedikit bercerita tentang obrolan kami ( beberapa blogger) bersama dengan Yuris Aryanna dan Yongki Ongestu di Owl Cafe sehari sebelum pemutaran film.
Yuris Aryanna merupakan seorang designer costume yang memiliki studio di Jakarta. Sejak SMA dia memiliki tokoh karakter imajinasi yang dia gambar dalam sketsa. Karena memang tertarik dengan dunia design dia menekuni studi design dan akhirnya dia bisa mewujudkan tokoh imajinatif dalam sebuah film.
Lalu siapa Yongki Ongestu itu? Dia merupakan owner dari Aegnima Picture, dia sendiri juga seorang fotografer dan director. Nah, mereka bersinergi menghasilkan film yang tak hanya keren tapi juga menonjolkan budaya lokal dan memberi perhatian lebih pada kostum dalam sebuah film.
Saat diundang via email oleh Yuris untuk mengikuti acar Screening Film End of Black Era, sejenak kening saya berkerut dan bertanya-tanya, screening film itu apa ya?
Yongkie Angestu dan Yuris Aryanna |
Lalu siapa Yongki Ongestu itu? Dia merupakan owner dari Aegnima Picture, dia sendiri juga seorang fotografer dan director. Nah, mereka bersinergi menghasilkan film yang tak hanya keren tapi juga menonjolkan budaya lokal dan memberi perhatian lebih pada kostum dalam sebuah film.
Saat diundang via email oleh Yuris untuk mengikuti acar Screening Film End of Black Era, sejenak kening saya berkerut dan bertanya-tanya, screening film itu apa ya?
Screening film tak ubahnya seperti riset terhadap sebuah film, setelah film diputar dilanjutkan dengan acara diskusi yang melibatkan praktisi film, pemerhati film, dan penonton dari berbagai background untuk kemudian dari kritikan dan koreksi dari penonton untuk kelanjutan film tersebut.
Begitu pula dengan Screening Film yang diadakan oleh Yuris Laboratory bersama Aegnima Picture pada 16 Juni yang lalu. Saya sih sudah excited dari hari sebelumnya setelah membaca pamflet dan melihat gambar-gambar adegan dari film End of Black Era yang mirip film-film barat bergenre fantasy.
Review End of Black Era - The Incident
Sebelum film End of Black Era - The Incident diputar, ada dua film dokumenter yang juga dibuat oleh Aegnima Picture diputar di cinema room Jogja Village Inn Hotel. Ada dua film dokumenter tentang Almarhum Mbak Resos seorang pengrajin tenun lurik gendong dan pak Zubaidi pengrajin tembaga.
Pak Zubaidi merupakan pengrajin yang tinggal di Kotagede, Yogyakarta. Beliau jatuh bangun menjalani profesi dari pengrajin emas, perak hingga berakhir di tembaga. Film dokumenter ini bercerita tentang curahan hati Pak Zubaidi yang dengan susah payah menekuni kerajinan tembaga meskipun pendapatannya tidak seberapa. Bantuan dari pemerintah yang diharapkan juga tidak sampai pada orang yang layak mendapatkan karena ketika ada program bantuan banyak orang yang mengaku sebagai pengrajin sehingga pengrajin sesungguhnya hanya mendapat bantuan sedikit. Saat ini pengrajin tembaga di Jogja hanya tinggal beberapa orang.
Film dokumenter selanjutnya menceritakan tentang Mbah Reso yang sudah almarhum. Di rumahnya yang terlihat tidak layak huni Mbah Reso masih tetap berkarya membuat tenun lurik disela-sela dia mengolah sawah. Tenun lurik yang dibuat oleh Mbah Reso sangat spesial. Kenapa? Karena proses pembuatannya bukan dengan ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) tapi dengan teknik gendong. Pembuatannya sangat RUMIT gengs. Hanya dengan kayu sepanjang 2 m sebanyak 3 atau 4 buah kemudian benang ditenun. Dan didaerah Bayat, Klaten tinggal Mbah Reso yang beberapa orang yang bisa membuat tenun lurik gendong. FYI, satu kain tenun lurik yang dibuat MBah Reso dalam waktu satu minggu hanya seharga dua puluh ribu. BAYANGKAN !
Yuris dan Yongki memakai kerajinan dari tembaga dan lurik buatan Mbah Reso, seperti aksesori telinga berbentuk sayap yang dikenakan Neewa dan penduduk desa terbuat dari tembaga hasil karya pak Zubaidi.
Pak Zubaidi merupakan pengrajin yang tinggal di Kotagede, Yogyakarta. Beliau jatuh bangun menjalani profesi dari pengrajin emas, perak hingga berakhir di tembaga. Film dokumenter ini bercerita tentang curahan hati Pak Zubaidi yang dengan susah payah menekuni kerajinan tembaga meskipun pendapatannya tidak seberapa. Bantuan dari pemerintah yang diharapkan juga tidak sampai pada orang yang layak mendapatkan karena ketika ada program bantuan banyak orang yang mengaku sebagai pengrajin sehingga pengrajin sesungguhnya hanya mendapat bantuan sedikit. Saat ini pengrajin tembaga di Jogja hanya tinggal beberapa orang.
Film dokumenter selanjutnya menceritakan tentang Mbah Reso yang sudah almarhum. Di rumahnya yang terlihat tidak layak huni Mbah Reso masih tetap berkarya membuat tenun lurik disela-sela dia mengolah sawah. Tenun lurik yang dibuat oleh Mbah Reso sangat spesial. Kenapa? Karena proses pembuatannya bukan dengan ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) tapi dengan teknik gendong. Pembuatannya sangat RUMIT gengs. Hanya dengan kayu sepanjang 2 m sebanyak 3 atau 4 buah kemudian benang ditenun. Dan didaerah Bayat, Klaten tinggal Mbah Reso yang beberapa orang yang bisa membuat tenun lurik gendong. FYI, satu kain tenun lurik yang dibuat MBah Reso dalam waktu satu minggu hanya seharga dua puluh ribu. BAYANGKAN !
Kerajinan Lokal Menjadi Properti Film Fantasi
Pastinya bukan tanpa sebab Yuris dan Yongki mengangkat cerita tentang kerajinan tembaga dan tenun lurik, tapi dua orang ini memang ingin mengangkat kerajinan tradisional/lokal bisa mendapat nilai lebih, terutama di dunia hiburan dan film.
Yuris dan Yongki memakai kerajinan dari tembaga dan lurik buatan Mbah Reso, seperti aksesori telinga berbentuk sayap yang dikenakan Neewa dan penduduk desa terbuat dari tembaga hasil karya pak Zubaidi.
Begitupun dengan mahkota dan tombak trisula yang dibawa Sang Malapetaka itu
juga kerajinan tembaga buatan pak Zubaidi. Kain lurik yang dikenakan Neewa. Kain lurik
itu merupakan hasil kerja tangan Mbah Reso yang menggunakan teknik gendong.
Lalu gimana sih jalan cerita film pendek End of Black Era?
Pernah lihat film fantasi 'kan? Semacam Avatar atau The Lord of The Ring. Nah, film ini hampir mirip lah. Film bergenre fantasi ini bercerita tentang Neewa yang sedang dikejar-kejar oleh Enemy karena
Neewa ini membawa Talisman (jimat). Film pendek ini baru prolog jadi sebagai awal, sehingga cerita lengkapnya belum ada.
Yang unik dan menonjol pastilah costume, bukan sekedar baju ya gengs tapi seluruh properti dari alas kaki, perhiasan hingga di tokoh antagonis yang warna mukanya biru macam avatar. Saya kok ngerasa film ini kayak film buatan luar negeri padahal bikinin anak negeri 'lho!
Mbak Yuris, memang ingin memperkenalkan tentang costume dan berharap film-film lokal juga lebih memperhatikan tentang costume dan bisa ikut menggunakan produk lokal seperti kerajinan tradisional dan turut mempromosikan.
Ngomongin costume artist ternyata kalau mau bikin costume bagus macam film fantasi memang harganya mahal. Di film End of Black Era, Yuris menjelaskan jika rompi dari kulit lembu harganya hampir 40 juta, kemudian untuk muka yang warna biru dari lateks harganya juga puluhan juta, itupun hanya awet satu jam.
Bajunya dari bulu angsa asli lho. |
Satu lagi 'nih yang menarik dari film End of Black Era yaitu Bahasa Angin yang digunakan dalam dialog film ini. Sepintas saya juga penasaran yang diomongin sama pemain film ini bahasa apa, karena bahasa daerah bukan, Inggris bukan latin juga bukan. Ternyata menggunakan bahasa angin yang khusus diciptakan, hurufnya ada bahkan kamusnya sedang dalam proses pembuatan. Jenis huruf bahasa angin ada di pamflet yang hurufnya mirip huruf Jawa.
Screening film End of Black Era - The Incident kayaknya hasilnya positif, banyak pihak yang mengapresiasi hasil karya sineas muda Yuris dan Yongki. Dari penggunaan kerajinan tradisional hingga kostum serta storynya yang memang bagus. Saya sih berharap film ini akan berkelanjutan dan ada versi film layar lebar dan tayang di bioskop seluruh Indonesia. Ciayo Yuris Yongki.
Saya kagum sama bangga ada film pendek yang penuh animasi hehe. Andai durasinya seperti film holywood
BalasHapuskerennnn kak
BalasHapusNtr aku mau nonton trailer filmnya pas udah di rumah. Kyknya memang seru mba. Moga2 film lengkapnya nanti cepet ada.. Btw itu febri juga diundang yaa :D. Ya ampuunnn di mana2 tuh anak kalo foto ga prnh ga antik yak wkwkwkw :p
BalasHapushuwooww.. keren banget mbak.. persiapannya matang banget ya, film pendek yang benar-benar dipersiapkan secara detail kaya gitu. Aku pun berharap diapresiasi ke layar lebar, biar puas nontonnya
BalasHapusmakasih sharingnay, hal ayng baru bagiku
BalasHapusPengen nonton versi panjangnya mba Prim. Bagus banget itu, karya anak Indonesia.
BalasHapusBangga banget sama mereka, semoga selalu mmeberikan inspirasi. Takjub banget, akhirnya kewujud ya imajinasi bisa menjadi karya.
mirip mirip lord of the rings kah fantasy nya ??
BalasHapusmantep nihh
dari effect maupun desain karakternya sudah bisa untuk menyamai film hollywood, salut banget deh
BalasHapuskeren sudah sekelas hollywood tuh. coba film indonesia yang lainnya dibuat kayak gini. pasti tuh bioskop penuh terus.
BalasHapus