"Memiliki identitas sendiri tentu sebuah kebanggaan, apalagi sebagai bangsa. Pada awal masa kemerdekaan Indonesia memiliki mata uang sendiri, yang menyiratkan kedaulatan sebuah bangsa.
ORI (Oeang Republik Indonesia) adalah mata uang pertama yang dimiliki Indonesia. Uang ini menjadi simbol perlawanan terhadap penjajah karena Indonesia sudah menggunakan alat transaksi sendiri. Sebagai alat tukar, ORI menjadi jati diri bangsa hingga kemudian dikenal dengan Rupiah. Setiap lembar ORI syarat akan makna Indonesia, terutama sejarah proses pencetakan ORI.
Wakil Presiden Mohammad Hatta dalam pidato radio melalui RRI Yogyakarta pada 29 Oktober 1946 menyatakan pemberlakuan ORI. Keberadaan uang ORI ini membuat peredaran mata uang lain seperti Yen, uang NICA dan uang Javasche Bank tidak berlaku lagi.
Pada tahun 1946 Oeang Republik Indonesia mulai dicetak oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui percetakan-percetakan terbaik di Indonesia yaitu Percetakan Kanisius dan Percetakan Gondo Rumeksa, sebuah percetakan negara yang terletak di Kidulloji, sedang Percetakan Kanisius milik swasta yaitu Yayasan Kanisius.
Penunjukan Kanisius sebagai pencetak ORI tentu bukan tanpa alasan. Saat itu hasil Percetakan Kanisius sudah dikenal bermutu dan hasil cetakan Kanisius memang belum ada yang bisa menandingi.
sumber : Buku Kuning : Bersiaplah Sewaktu-waktu Dibutuhkan
“Mandi uang memang setiap hari, meski tugasnya sebagai pencetak uang bukan berarti soal kesejahteraan ikut meningkat. Kami hanya mendapat tambahan uang makan dengan bekerja ekstra teliti dam cermat di bawah pengawasan puluhan polisi militer” tutur pak Dahana.
Petugas penghitung uang di Percetakan Kanisius selain pak Dahana yaitu A. Goei Thay Bie, seorang keturunan Cina juga mendapatkan SK langsung dari Menteri Keuangan Republik Indonesia tertanggal 23 Desember 1946.
Sebuah kebanggaan bagi Percetakan Kanisius dipercaya untuk mencetak ORI. Selama proses pencetakan ORI tidak pernah ada masalah. Penambahan pegawai baru diadakan untuk membantu menyortir uang hasil cetakan. Mereka menyortir uang dengan dijaga ketat oleh polisi militer.
Ruangan untuk mencetak uang dibuatkan ruang khusus dan tersendiri, dimana hanya ada satu pintu untuk masuk da keluar. Saat akan masuk kerja, setiap orang disodori kartu, kemudian tanda tangan. Sebelum masuk semua pegawai harus melepas semua pakaian kecuali celana dalam kemudian berganti baju khusus yang berwarna putih-putih seperti dokter. Setiap mau masuk atau keluar pegawai akan diperiksa dengan sangat teliti oleh polisi militer yang berjaga.
“Saya dan teman-teman yakin kok ini tugas mulia dan kepercayaan terhadap Kanisius yang luar biasa dari pemerintah saat itu dan kami tidak ingin mengecewakannya. Meski tanpa diawasi saya yakin, karyawan Kanisius yang terlibat dalam pencetakan uang tidak ada yang berlaku curang atau mengambil dengan diam-diam. Kejujuran ini tidak diminta oleh Kanisius , namun tumbuh dengan tulus dari hati masing-masing untuk menjaga nama baik Kanisius. Ini sebagai tugas mulia, maka kami yakin, Tuhan sendiri yang langsung mengawasi kami” cerita pak Dahana dengan penuh keyakinan.
Proses pencetakan uang dimulai dalam bentuk lembaran-lembaran uang, kemudian dipotong-potong, lalu disortir mana uang yang layak dan yang tidak. Uang yang sudah dipotong dan disortir kemudian dibendeli setiap 100 lembar. Yang yang sudah dibendeli diikat dan diberi nama siapa penyortirnya. Uang dibawa dari Percetakan Kanisius menuju kantor Bank Indonesia di Bagian Kantor Pemberesan Keoeangan dengan dikawal puluhan militer.
Tugas mencetak ORI yang diberikan pada Percetakan Kanisius berjalan baik dan mendapat apresiasi dari pemerintah. Setelah selesai menjalankan tugas Pak Dahana dan Pak Hoei Thay Bie mendapat SK penghentian secara terhormat. Surat itu dikeluarkan oleh Menteri Keuangan yang berpusat di Yogyakarta tertanggal 8 Januari 1947. Tak ada imbalan apapun bagi mereka berdua dari pemerintah dan itu tertuang di SK, tapi kebanggaan bisa menjalankan tugas negara dengan baik adalah harga yang tidak ternilai, bagi mereka berdua dan bagi Percetakan Kanisius.
Tahun ini Kanisius telah berkarya selama 100 tahun. Sebuah angka yang menunjukkan perjalanan waktu yang sangat panjang. Turut merekam sejarah bangsa Indonesia melalui hasil cetakan-cetakan Kanisius, baik dalam wujud surat kabar, majalah, buku hingga mata uang yang menjadi jati diri bangsa.
Kita, bukan tidak memiliki tugas berat seperti pendahulu-pendahulu dalam melawan penjajah atau berjuang bisa mempunyai mata uang sendiri. Tugas kita lebih berat karena harus menjaga semua “kekayaan” yang kita miliki saat ini agar tetap lestari hingga anak cucu kelak.
Sedikit rangkuman dari Pak Dahana dan kawan-kawan seperjuangan di Kanisius “Meskipun kami mandi uang, bukan berarti kami berkelimpahan, tetapi mengemban tugas mulia dengan mengerjakan sebaik-baiknya dengan penuh kejujuran adalah bentuk kebanggaan kami”
Jadi, apakah kita siap untuk berkarya dengan tulus dalam hal apapun bagi negara meski sumbangsih kita hanya terbayar dengan rasa bangga dan syukur?
Sumber : Buku Kuning Kanisius - Bersiaplah Sewaktu-waktu Dibutuhkan
Hebat percetakan Kanisius. Sudah 100 tahun ternyata. Top markotop 👍
BalasHapus