Okey, sepertinya saya memiliki tenaga - tepatnya niat untuk menulis- melanjutkan tulisan tentang penyakit hipertiroid.
Karena rentang waktu ketika saya sakit dahulu dan sekarang saat saya menulis cukup lama, rasanya lebih dari 5 tahun. Jadi mungkin alur ceritanya tidak lengkap, mohon dimaafkan ya gaes.
Baca cerita sebelumnya : Cerita Saya Pasien Hipertiroid
***
Dulu saya wira-wiri periksa di rumah sakit sewaktu masih di kantor lama, pada kisaran tahun 2018-2019 yang lalu. Berarti sudah hampir 6 tahun saya survive dari hipertiroid, bahkan tanpa minum obat. Yah, meski sebenernya, seharusnya dan sudah sewajibnya paling enggak satu tahun sekali saya cek kadar TSH dan T4. Tetapi, saya tidak merasakan keluhan, so kayaknya aman ya. Sehat sehat ya Gusti.
Cerita saya di part sebelumnya bisa kalian baca di sini ya, tulisan saya tentang pengalaman periksa di Instalasi Kanker Tulip RS Sardjito. Jujur, mendengar kata kanker membuat saya bergidik apalagi harus melakukan pemeriksaan dan rutin wira-wiri bertemu dengan para pasien kanker dari berbagai daerah. Ya, RS Sardjito merupakan rumah sakit rujukan dari berbagai daerah. Beberapa kali saya mengobrol dengan pasien dari Magelang, bahkan pernah bertemu dengan pasien kanker payudara dari salah satu desa di Klaten, dekat dengan rumah orangtua saya.
Saya yang rumahnya masih di kota Jogja saja terkadang merasa lelah, dari perjalanan menuju rumah sakit hingga wira-wiri di dalam rumah sakit, apalagi mereka yang benar-benar sakit - lemah, habis operasi dan melakukan kemoterapi- sangat berat lho.
Kalau saya sendiri masih bisa datang ke rumah sakit sendiri, dari registrasi , menuju ruang dokter, laboratorium hingga antri obat. Semua saya lakukan sendiri, biasanya pagi saya ke kantor dulu di Bantul sana, menyelesaikan beberapa pekerjaan dan ijin pada atasn. Kebayang ya. Tapi apa yang saya alami sungguh jauh lebih ringan dibanding para pasien lainnya.
Ah, setiap mengingat ini, jujur agak drop, ikut merasakan sakitnya mereka, turut merasaskan haru akan kesetiaan keluarga yang mendampingi, atau keikhlasan seorang anak yang harus ditinggal orangtuanya berobat.
Pengobatan di Instalasi Kanker Tulip
Kaki saya melangkah dengan gontai, hari sudah agak siang ketika saya mendaftar di ruang perawat. Menyerahkan seluruh berkas, dari surat rujukan hingga rekam medis saya. Setelah ditensi dan menjawab beberapa pertanyaan, saya menunggu panggilan dari dokter. Tiga dokter praktek yang menangani pemeriksaan, saya lupa dapat dokter siapa. Di pemeriksaan pertama, dokter melihat hasil tes darah dan menyarankan untuk operasi pengambilan benjolan. Tak ada obrolan tentang pola makan yang seharusnya atau saran perubahan gaya hidup atau apapun itu. Yah, saya maklum, periksa di rumah sakit pemerintah yang antrian pasiennya banyak, diperiksa 5 menit saja sudah bersyukur.
Sebelum dioperasi, kadar TSH dan T4 dalam darah harus normal, saya diminta melanjutkan minum obat dan sepertinya dosisnya dinaikkan dan ditambah satu obat yang mirip-mirip betadine. Cairan itu di apotik RS tidak ada, jadi saya harus mencari di apotik luar RS. Untuk mendapatkannya juga lumayan susah, tidak semua apotik ada. Dan benar saja, obat itu mirip betadine, diteteskan di air putih, hanya satu atau dua tetes dan harus saya minum.
Sebulan setelahnya kembali saya kontrol, langsung ke laboratorium untuk cek darah mengunakan surat pengantar yang sudah diberikan di bulan sebelumnya. Kemudian ke Instalasi Tulip untuk bertemu dengan mbak-mbak perawat dan pak dokter.
Instalasi Kanker Terpadu RS Sardjito tak pernah sepi. Banyak pasien yang terduduk lemas di kursi roda, atau nampak pula pasien tertidur di ranjang sembari menunggu namanya dipanggil. Yang duduk di ruang tunggu lebih banyak, dari pasien atau keluarga yang mendampingi.
Pasien yang duduk di kursi roda atau sudah tiduran di ranjang, biasanya mereka pasien kanker yang sedang menjalani pengobatan kemoterapi. Ada yang habis operasi kemudian pengobatan dilanjutkan dengan disinar atau kemoterapi.
Ohya, tak hanya pasien kanker yang melakukan pemeriksaan di sini, tetapi segala macam benjolan yang harus diambil maka pemeriksaannya ya di Instalasi Tulip ini. Seperti saya yang rencananya akan dilakukan pembedahan pada leher saya. Duh serem.
Dokter membaca hasil tes laborat saya, masih belum sesuai dengan yang dikehendaki sehingga saya melakukan terapi obat lagi hingga kadar TSH dan T4 normal agar bisa dilakukan pembedahan. "Besok kalau hasil laborat sudah bagus, tinggal saya jadwalkan operasinya bu. Bisa cepat kok, bisa fast track, nanti saya buat catatan ke suster operasi tanggal sekian, jadi tak perlu menunggu lama. Ok bu, semoga hasil tes bulan depan bagus ya" dokter memberikan penjelasan dengan sangat santai. Sedang saya sebagai pasien dagdigdug nggak karuan. :(
Sebulan kemudian, saya melakukan rutinitas yang sama, berkunjung ke laboratorium, mengantri di ruang periksa, mendengarkan curahan hati orang-orang di samping saya dengan segala pengalaman mereka menjadi pasien kanker.
"Ibu, maaf dokter.... kebetulan berhalangan jadi saya yang hari ini memeriksa Ibu, hasil cek darah ibu sudah bagus, saya jadwalkan operasi ya, tetapi menunggu dapat kamar dulu kemudian baru bisa operasi dilakukan. Nah, sebelum operasi ibu USG lengkap dulu dan rontgen untuk mengecek kesehatan apakah aman untuk operasi" seorang dokter pengganti sangat tenang menyampaikan sebuah kabar entah bagi saya menggembirakan atau menakutkan.
Jika dokter sebelumnya bisa langsung menjadwalkan saya operasi tanpa menunggu lama, entah mengapa dengan dokter yang ini bisa berbeda. Tapi saya bersyukur sih, waktu operasi masih lama, setidaknya menunggu sampai ada kamar kosong.
Seminggu sesudahnya, kembali saya datang ke RS Sardjito untuk rontgen paru-paru dan USG. Di awal pemeriksaan di RS Panti Rini pemeriksaan USG sudah dilakukan, tetapi hanya sisi tengah leher dimana terlihat benjolan. Kali ini yang discan tak hanya leher bagian tengah tetapi dari sisi kiri tengah hingga kanan. Semua bagian di leher discan dan difoto, agar terlihat dengan jelas ada berapa benjolan serta posisi benjolan tersebut.
Hari selanjutnya saya kembali ke RS Sardjito untuk melakukan rontgen paru-paru. Jujur, saya paling benci sama rumah sakit karena takut papasan dengan jenazah. Kalau di rumah sakit kecil macam Panti Rini, ruang periksa dan laborat ada di lobby, sedang ruang pasien rawat inap di dalam apalagi ruang jenazah jauh di belakang gedung.
Nah, di RS Sardjito ini 'kan saking banyaknya pasien hingga banyak pula yg meninggal. Jadi, bisa aja pas mau jalan ke laborat atau ke ruang poli itu papasan sama ranjang yang didorong dengan pasien yg tubuhnya tertutup selimut semua alias sudah berpulang. Sumpah. Antara takut dan sedih.
Btw, masalah perhantuan saya memang angkat tangan, kos tidak pernah kamar sendiri, ke luar kota juga nggak berani tidur di hotel sendiri. Maaf, saya Leo penakut sama hantu. WKWKWK.
Okey lanjut yaaa,
Seperti biasa antrean di ruang rontgen hampir sama dengan poli yang lain. Rumah sakit sungguh mengajarkan kita tentang artinya kesabaran. EHMM. Hasil rontgen saya agak lupa bisa diambil hari itu atau di hari sesudahnya.
Setelah semua hasil USG dan rontgen keluar, saya membawa semua rekam medis kembali ke Gedung Tulip. Dokter meminta saya meninggalkan nomor HP pada perawat, agar saat sudah ada kamar kosong dan jadwal operasi keluar saya bisa dihubungi.
Seminggu atau dua minggu berselang ada nomor asing menghubungi saya, memberi tahu jika besok saya bisa ke rumah sakit untuk rawat inap dan kemudian dilakukan operasi.
Penantian terjawab, hal yang paling saya takutkan akan terjadi. OPERASI. Jika ada teman, kerabat atau saudara sakit pasti saya dengan semangat akan mensupport, Operasi pasti lancar dan akan segera sembuh, tidak usah takut teman.
Tapi ternyata nyali saya nggak sekuat itu gaes, bukan rasa sakitnya dibedah menggunakan pisau yang saya takutkan tetapi lebih ke "bagaimana setelah dibius dan saya nggak sadar lagi, bagaimana jika saya tidak bisa lagi melihat keluarga saya" dan "bagaimana jika efek obat bius mulai hilang dikit dan saya ndleming macem-macem" hahahaha. Keseringan lihat video orang-orang habis operasi yang kayak orang mabuk dan ngaco, bikin saya parno.
yah, dengan keberanian yang cuma ada di luar saya ijin ke kantor dan berangkat ke RS Sardjito sendirian. Kendel tho sendirian. Suami harus menemani anak-anak di rumah, sedang saya meminta adik saya yang kos di Jogja untuk ke rumah sakit jika dia sudah selo waktunya.
Saya ingat sekali, saya naik motor sendirian, di perjalanan hati nggak karuan. Saya hanya membawa tas kanvas berisi beberapa baju ganti. Sampai di Sardjito saya melakukan pendaftaran dulu di salah satu gedung, yang jelas bukan lagi di poli pemeriksaan. Perawat mengecek rekam medis serta rujukan dan ternyata surat rujukan saya habis masa berlakunya. Saya diminta ke faskes pertama, membuat surat rujukan baru kemudian ke Sardjito lagi.
Hahaha. Jujur. Saya malah seneng dengernya, karena berarti saya tidak jadi operasi, setidaknya dipending. Lucu ya, gagal operasi tapi malah seneng. Saya langsung pulang, bahkan mampir belanja ke Adele. Itu toko yang jual segala pernak pernik cewek. Entah belanja apa saja wong saya lagi seneng dan lanjut self reward beli Chatime. Kemudian saya pulang ke rumah.
Suami dan anak-anak kaget tapi juga lega ibunya masih pulang ke rumah. Esok harinya saya ngantor dan teman-teman juga kaget kok sudah masuk kerja, padahal mereka sudah berencana mau membesuk.
Yah, namanya rencana, semua bisa berubah dalam sekejab mata. Kita tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya.
Nah, lalu apa yang terjadi setelah saya gagal operasi? Apakah saya lanjut dioperasi atau malah sembuh sendiri? Spill dikit yaa, saya sembuh tanpa operasi. Apa saja yang saya lakukan setelah gagal operasi? Baca di tulisan selanjutnya. Karena banyak tips biar lebih sehat dan sembuh dari hipertiroid.
Sekali lagi, nulisnya belum tahu kapan lagi. Sabaaaar aja ditunggu. :))
Sehat selalu yaa Sobat Prima.
***
Maaf, dokumentasi sepertinya ada di HP yang lama, dan kayaknya saya juga jarang ambil dokumentasi kalau lagi sedih dan takut. Jadi postingan kali ini no picture ya gaes.
Komentar
Posting Komentar
Hai kawan, terimakasih sudah mampir ya. Pembaca yang cantik dan ganteng boleh lho berkomentar, saya senang sekali jika anda berkenan meninggalkan jejak. Salam Prima :)